Total Tayangan Halaman

Senin, 26 Maret 2012

PERBEDAAN INTELIGENSI DENGAN IQ


      Piaget mengemukakan beberapa defenisi inteligensi, yaitu, “…intelligence is a particular instance of biological adaptation…”; “…is the form of equilibrium towards which the successive adaptations and exchanges between the organism and his environment are directed…”; a system of living and acting operations …” (Ginsburg & Opper, 1979). Definisi yang pertama mengemukakan bahwa inteligensi merupakan suatu kemampuan adaptasi biologis manusia. Sistem adaptasi ini berfungsi untuk dapat berinteraksi secara efektif dengan lingkungan pada suatu tingkat psikologis. Defenisi kedua menunjukkan bahwa inteligensi menunjukkan bahwa inteligensi merupakann bentuk keseimbangan dalam proses adaptasi dan perubahan organisma menghadapi lingkungannya. Keseimbangan merupakan suatu penysuaian yang harmonis, paling sedikit pada dua faktor, yaitu antara individu atau struktur kognitif dengan lingkungannya. Defenisi ketiga menunjukkan suatu sistem pikiran dan bertindak yang dilatarbelakangi oleh aktivitas mental yang terstruktur. Dari ketiga dimensi Piaget di atas dapat dilihat bahwa pada akhirnya Piaget melibatkan aspek kemampuan intelektual secara kuat.Pendapat yang lain, intelligensi adalah suatu kapasitas seseorang untuk (1) memperoleh pengetahuan (contoh: belajar dan memahami), (2) menerapkan pengetahuan (memecahkan masalah), dan (3) terlibat dalam penalaran abstrak.
     
     Salah satu contoh tes inteligensi ialah Tes Matriks progresif merupakan tes kemampuan umum (general mental ability) yang dikembangkan oleh Raven yang disusun sedemikian rupa sehingga pengaruh (hallo efect) kemampuan verbal, kondisi budaya, dan tingkat pendidikan terhadap hasil tes diperkecil (Raven, 1960). Tes ini disusun berdasarkan pengukuran Spearman atas factor umum “Spearman’s g factor (Anastasi, 1990). Tes ini dapat diberikan baik secara individual maupun secara kelompok. Tes Matriks progresif bentuk standar terdiri atas kelompok A, B, C, D, dan E. Masing-masing sub-tes terdiri atas dua belas butir. Dengan demikian, keseluruhan tes berisi enam puluh butir soal. Pada dasarnya masing-masing butir disusun berdasarkan atau dasar urut-urutan tingkat kesukaran, dari yang paling mudah sampai yang paling sukar. Untuk butir kelompok A dan kelompok B disediakan enam macam alternatif pilihan jawaban, sedangkan untuk kelompok C, D, dan E terdapat delapan pilihan jawaban. Di antara alternatif pilihan jawaban yang bermacam-macam itu, untuk masing-masing butir hanya ada satu jawaban yang benar.
Sedangkan IQ (Intelligence Quotient/angka kecerdasan) adalah penggolongan tingkat inteligensi subjek (Raven, 1960) yang dalam hal ini didasarkan atas nilai persentil yang didapat individu sebagai berikut:

  1. “intellectually superior”, bagi subjek yang nilainya pada persentil ke-95 ke atas;
  2. “definitely above the average in intellectual capacity”, bagi subjek yang nilainya terletak antara persentil 75 sampai dengan persentil 94;
  3. “intellectually average”, yaitu kelompok subjek yang nilainya berkisar antara persentil ke – 25 sampai dengan persentil ke – 74;
  4. “definitely below average in intellectual capacity”, bagi subjek yang nilainya antara persentil ke -5 sampai dengan persentil ke -24;
  5. “intellectually defective”, yaitu jika nilai subjek terletak pada dan di bawah persentil yang ke – 5.  
   
Seseorang yang memperoleh skor persentil 95 ke atas dalam tes PM dikatakan seseorang itu memiliki kecenderungan IQ pada tingkat superior. Pendapat lain mengatakan Intelligence Quotient (IQ) is the score you get on an intelligence test. Originally, it was a quotient (a ratio): IQ =MA/CA x 100. (MA= Mental Age; CA= Calender age). Jelaslah perbedaannya bahwa IQ merupakan angka yang dicapai seseorang sebagai tingkat kecerdasannya, sedangkan inteligensi adalah kemampuan umum seseorang dalam beradaptasi dengan lingkungannya.
Kepustakaan

Galih Mataro
111301111

DEFINISI PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIOGRAFI SINGKAT TIGA TOKOH BESAR PENDIDIKAN


A.    Pengertian psikologi pendidikan

Apakah psikologi pendidikan itu? Lebih konkret lagi, psikologi pendidikan itu membicarakan apa saja? Maka jawabannya akan beragam sesuai teori dan falsafah penulis buku psikologi pendidikannya. Samuel Smith telah mengadakan studi intensif mengenai 18 buah buku psikologi pendidikan yang berkualitas standar mendapatkan data yang menguatkan pernyataan awal tulisan ini. 

Smith (Pintner dkk., 1953) menggolongkan persoalan yang dikupas para ahli yang diselidikinya menjadi 16 macam pokok bahasan serta banyaknya bab yang mengupasnya, yaitu:
1.      Sains psikologi pendidikan (16)
2.      Hereditas (20)
3.      Struktur fisik (22)
4.      Pertumbuhan (38)
5.      Proses tingkah laku (28)
6.      Ruang lingkup belajar (42)
7.      Faktor-faktor yang mengkondisikan belajar (61)
8.      Hukum dan teori belajar (24)
9.      Pengukuran: Definisi dan prinsip-prinsip belajar (30)
10.  Transfer pelatihan: materi (16)
11.  Aspek praktis pengukuran (30)
12.  Unsur statistik (7)
13.  Kesehatan mental (44)
14.  Pendidikan karakter (35)
15.  Psikologi mata pelajaran sekolah menengah (22)
16.  Psikologi mata pelajaran sekolah dasar.       
                                       
Dari data di atas tampak bahwa masalah yang sentral dalam psikologi pendidikan adalah masalah belajar. Belajar dan mengajar merupakan tindak pelaksanaan dalam upaya pendidikan. Dalam usaha mendidik, peserta didik belajar dan pendidik mengajar sesuatu sehingga peserta didik kompeten. Menghadapi hal ini, pendidik seyogianya bertolak dari proses pendidikan, yaitu proses si pendidik dengan sengaja dan penuh tanggung jawab memberikan pengaruhnya kepada anak didik demi kebahagiaan anak didik. Proses unik ini berlangsung dalam suatu situasi seperti pergaulan pendidik dengan anak didik, tujuan yang akan dicapai, materi dan sarana yang digunakan, dan lingkungan sosial budaya yang mengitarinya dan sebagainya. Jadi psikologi pendidikan seyogianya dilihat pada substansi pokoknya masalah belajar dan yang terkait dengannya.

B.     Biografi singkat:
·         Edward El Thorndike (1874 – 1949)
Tokoh ini lahir di Williamsburg pada tanggal 31 Agustus 1874 dan wafat di Montrose, New York pada tanggal 10 Agustus 1949. Pada tahun 1898 (tepat usianya 24 tahun), ia menerbitkan buku  yang berjudul: Animal Intelligence, An Experimental Study of Association Process in Animal. Buku ini membahas tentang prinsip dasar prinsip dasar proses belajar adalah asosiasi. Teori ini disebut juga suatu teori Stimulus (S) – Respon ( R), kemudian Trial and error.



Meskipun ia secara teknis seorang yang fungsionalist, pandangannya lebih kepada behavioris. Ia menyelesaikan sarjanannya di universitas Wesleyan Conecticut pada tahun 1885 dan magisternya dari Harvard pada tahun 1897. Sambil ia belajar dari William James, sekaligus juga merupakan teman lamanya. Thorndike menyelesaikan doctor (Ph.d) di Columbia hingga ia mengundurkan diri pada tahun 1940. Ia dikenang sepanjang masa karena kucing dan kotak puzzle-nya yang dirancangnya sendiri. Kotak-kotak ini memiliki mekanisme membebaskan diri secara kompleks yang menghendaki bahwa kucing melakukan beberapa tindakan secara berurutan. Dari riset ini, ia menyimpulkan dua hukum belajar yang amat terkenal, yaitu: 1) The Law of Exercise, yang pada dasarnya sama dengan hukum frekuensi Aristoteles. Makin sering suatu asosiasi digunakan, maka makin kuat hubungannya. Sebaliknya, makin jarang digunakan, maka makin lemah hubungan itu. 2) The Law of Effect, ketika suatu hubungan atau asosiasi diikuti oleh suatu keadaan yang memuaskan, hubungan itu makin kuat dan sebaliknya jika suatu asosiasi diikuti oleh suatu keadaan yang tidak memuaskan, hubungan melemah. Kecuali bahasa mental (memuaskan bukan perilaku) maka sama halnya seperti operant conditioning Skinner. Thorndike juga dikenal atas studinya mengenai “transfer of training”.
Inteligensi menurut Thorndike ialah terdiri atas berbagai kemampuan yang spesifik yang ditampakkan dalam wujud perilaku inteligen.

·         John Dewey (1859-1952)

John Dewey adalah pemikir pendidikan yang paling signifikan di zamannya. Sebagai filosof pendidikan dan pembaharu social, ia mengubah pendekatan yang fundamental tentang belajar dan mengajar. Gagasannya tentang pendidikan berasal dari filsafat fragmatisme dan berpusat pada pergerakan progresif di sekolah.

Konsep Dewey tentang pendidikan meletakkan dasar pada aktivitas bermakna dari belajar dan partisipasi dalam kelas yang demokratis. Tidak seperti model-model pembelajaran yang terdahulu yang mengandalkan otoritas dan belajar hafalan, pendidikan progresif menyatakan bahwa para siswa seharusnya diinvestasikan dalam apa yang sedang mereka pelajari. Dewey berargumentasi bahwa kurikulum seharusnya relevan dengan kehidupan siswa. Ia melihat learning by doing dan pengembangan keterampilan hidup praktis adalah penting bagi kehidupan anak. Beberapa kritik mengasumsikan bahwa menurut system Dewey, siswa akan gagal memperoleh pengetahuan dan keterampilan akademik dasar. Pihak lain mempercayai bahwa perintah di kelas dan otoritas guru akan hilang.

·         William James (1842-1910)
Beliau adalah seorang tokoh utama perintis pengukuran inteligensi yang hidup antara tahun 1842 hingga 1910. William James lahir pada tanggal 11 Januari 1842 di New York City. Ayahnya, seorang kaya raya yang mandiri, adalah seorang penulis masalah-masalah teologis. Masa pendidikan awal James terkadang terganggu, ia mendapatkan keuntungan dari pengalaman yang luas dan bervariasi, ia dapat belajar bahasa Perancis dan Jerman. Pada tahun 1864, ia sangat tertarik pada seni, tetapi sains menang dan ia masuk Harvard Medical School dengan mendapatkan gelar M.D pada tahun 1869. Pada tahun 1872 ia menjadi seorang guru psikologi di Harvard. Dorongan dan pluralisme dari komunitas akademik ini terbukti menjadi latar belakang bagi James. Di samping menaruh perhatian pada struktur tubuh, ia terpukau dengan persoalan struktur pikiran dan emosi manusia dan berbagai variasi pengalaman manusia. Ia juga disulitkan dengan masalah yang berkenaan dengan perdebatan antara kebebasan dan determinisme, kemungkinan kebenaran pasti, dan realitas Tuhan.

Pada tahun 1875, ia mengajar kursus psikologi, dan ia mulai memberikan kursus filsafat di Harvard, tentang esai-esai yang mengenai perdebatan determinisme-kebebasan, sifat rasionalisme dan kesesuaian antara sains dan agama pada tahun 1880-an.
 Karya-karya William James
Karya-karya yang paling penting dimana ide-ide ini dikembangkan mencakup beberapa hal, yakni :
1. The will to be believe, (1897)
2. The Variety of Religious Experience (1902)
3. Pragmatism (1907)
4. A Pluralistic Universe (1909)
5. Essay in Radikal Empirism (1912), setelah James meninggal.

 Pemikiran William James
Untuk menjelaskan pandangan-pandangan yang dikemukakan James, kita harus mulai dengan teorinya tentang kesadaran, yang sebagian besar dikembangkan secara lengkap di dalam The Principles of Psychology. James percaya bahwa psikologi dan filsafat erat-terkait melalui cara berikut: keduanya perlu menekankan deskripsi tentang pengalaman manusia dan juga tujuan menemukan penjelasan kausal.

Setelah menerbitkan The Principles of Psychology, James mempersembahkan dirinya lebih lanjut di dalam penjelajahan filosofis. Namun, ini tidak berarti bahwa ia memutuskan diri dari perhatian awalnya pada psikologi dan fisiologi. Dalam kenyataannya, karya filosofisnya dapat dipandang mengambil beberapa cabang sentral dari penekanan awalnya pada satu ide : bahwa kesadaran manusia adalah sebuah kekuatan aktif, selektif, bertujuan, yang dengannya manusia membentuk sebuah lingkungan yang religius dan lunak menjadi pola-pola yang bermakna. Dari fondasi ini, tulisan-tulisan lima belas tahun terakhir dari hidup James berpusat pada (1) arti penting pilihan dalam menentukan kepercayaan kita, (2) penilaian tentang hidup religius manusia, (3) hakikat makna dan kebenaran, dan (4) perkembangan sebuah metafisika pluralistik (yakni sebuah pandangan yang menekankan otonomi dan independensi hal-hal individual di alam semesta, hubungan dan ketergantungannya satu sama lain).

Ia juga meletakkan prinsip ini ke dalam praktik dan menunjukkan lima karakteristik dasar kesadaran dan pikiran kita, yaitu :
1. Pikiran bersifat personal-pengalaman diatur, keduanya memiliki seseorang.
2. Pikiran dan pengalaman berada di dalam perubahan yang konstan. Tidak ada dua pengalaman yang pernah identik, “sebuah keadaan yang telah berlaku tidak akan pernah kembali dan identik dengan apa yang sebelumnya”. James tidak mengingkari bahwa mengalami obyek yang sama sekali, tapi pengalaman kita tentang sebuah obyek memiliki sifat yang berbeda pada kesempatan-kesempatan yang berbeda.
3. Ada keberlanjutan dan juga perubahan di dalam pikiran dan pengalaman
4. Pikiran bersifat kognitif, dan pikiran berkenaan dengan sesuatu selain dirinya sendiri
5. Kesadaran bersifat selektif, kesadaran berkonsentrasi pada beberapa hal dan mengingkari beberapa hal yang lain.


Kepustakaan


 Asmoro, A. 2001 Filsafat umum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.