GURU YANG PROFESIONAL
PENDAHULUAN
Guru merupakan faktor yang sangat dominan dan penting
dalam pendidikan formal pada umumnya karena bagi peserta didik guru sering
dijadikan tokoh identifikasi diri. Oleh karena itu, guru seyogianya memiliki
perilaku dan kompetensi yang memadai untuk mengembangkan peserta didik secara
utuh. Untuk melaksanakan tugasnya secara baik sesuai dengan profesi yang
dimilikinya, guru perlu menguasai berbagai hal terutama kompetensi kepribadian,pedagogik,
sosial, dan profesional.
Guru yang kita kenali, mempunyai
kedudukan yang khusus dalam masyarakat. Perilaku dan penampilannya akan
membekas dan banyak mewarnai kehidupan sekarang maupun masa yang akan datang.
Guru banyak disanjung dan dipuji, tetapi adakalanya juga dicemooh dan dicerca. Guru
dapat tampil dalam berbagai wajah, dan diamati dalam berbagai wajah pula. Posisi
guru yang khas dihadapan masyarakat dengan beragam perhatian yang diberikan
kepada guruu tersebut, menuntut suatu kompetensi yang lebih dibandingkan dengan
profesi lain yang ada di masyarakat. Untuk itu perlu kompetensi guru untuk meningkatkan
profesionalitas guru.
A. Guru sebagai Profesi
Djojonegoro
(1998:350) menyatakan bahwa profesionalisme dalam suatu pekerjaan atau jabatan
ditentukan oleh tiga faktor penting, yaitu: (1) memiliki keahlian khusus yang
dipersiapkan oleh program pendidikan keahlian atau spesilaisasi, (2) kemampuan
untuk memperbaiki kemampuan (keterampilan dan keahlian khusus) yang dimiliki,
(3) penghasilan yang memadai sebagai imbalan terhadap keahlian yang dimiliki
itu. Menurut Vollmer & Mills (1991:4) profesi adalah sebuah
pekerjaan/jabatan yang memerlukan kemampuan intelektual khusus, yang diperoleh
melalui kegiatan belajar dan pelatihan untuk menguasai keterampilan atau keahlian
dalam melayani atau memberikan advis pada orang lain dengan memperoleh upah
atau gaji dalam jumlah tertentu.
Usman (1990:4) mengatakan
bahwa guru merupakan suatu profesi yang artinya suatu jabatan atau pekerjaan
yang memerlukan keteahlian khusus sebagai guru. Suatu profesi memiliki
persyaratan tertentu, yaitu: (1) menuntut adanya keterampilan yang mendasarkan pada
konsep dan teori ilmu pengetahuan yang mendasar, (2) menekankan pada suatu
keahlian dalam bidang tertentu sesuai dengan profesinya, (3) menuntut tingkat
pendidikan yang memadai, (4) menuntut adanya kepekaan terhadap dampak
kemasyarakatan dari pekerjaan yang dilaksanakan, (5) memungkinkan perkembangan sejalan
dengan dinamika kehidupan, (6) memiliki kode etik sebagai acuan dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya, (7) memiliki obyek tetap seperti dokter
dengan pasiennya, guru dengan siswanya, dan (8) diakui di masyarakat karena
memang diperlukan jasanya di masyarakat.
Pengertian di atas
menunjukkan bahwa unsur-unsur terpenting dalam sebuah profesi adalah penguasaan
sejumlah kompetensi sebagai keahlian khusus, yang diperoleh melalui pendidikan
dan pelatihan khusus, untuk melaksanakan pembelajaran secara efektif dan efisien.
Kompetensi guru berkaitan dengan profesionalisme adalah guru yang kompeten
(memiliki kemampuan) di bidangnya. Karena itu kompetensi profesionalisme guru
dapat diartikan sebagai kemampuan memiliki keahlian dan kewenangan dalam
menjalankan profesi keguruan.
B. Kompetensi Guru
Sejalan dengan uraian
pengertian kompetensi guru di atas, Sahertian (1990:4) mengatakan kompetensi
adalah pemilikan, penguasaan, keterampilan dan kemampuan yang dituntut jabatan seseorang.
Oleh sebab itu seorang calon guru agar menguasai kompetensi guru dengan
mengikuti pendidikan khusus yang diselenggarakan oleh LPTK. Kompetensi guru
untuk melaksanakan kewenangan profesionalnya, mencakup tiga komponen sebagai berikut:
(1) kemampuan kognitif, yakni kemampuan guru menguasai pengetahuan serta
keterampilan/keahlian kependidikan dan pengatahuan materi bidang studi yang
diajarkan, (2) kemampuan afektif, yakni kemampuan yang meliputi seluruh
fenomena perasaan dan emosi serta sikap-sikap tertentu terhadap diri sendiri
dan orang lain, (3) kemampuan psikomotor, yakni kemampuan yang berkaitan dengan
keterampilan atau kecakapan yang bersifat jasmaniah yang pelaksanaannya
berhubungan dengan tugas-tugasnya sebagai pengajar.
Dalam UU Guru dan Dosen
disebutkan bahwa kompetensi guru mencakup kompetensi pedagogik, kepribadian,
profesional dan sosial sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan yang diperoleh
melalui pendidikan profesi guru setelah program sarjana atau D4. Kompetensi
pribadi meliputi: (1) pengembangan kepribadian, (2) berinteraksi dan berkomunikasi,
(3) melaksanakan bimbingan dan penyuluhan, (4) melaksanakan administrasi
sekolah, (5) melaksanakan tulisan sederhana untuk keperluan pengajaran.
1. Kompetensi Profesional
Profesi adalah suatu
jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian (expertise) para
anggotanya. Artinya pekerjaan itu tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang
yang tidak terlatih dan tidak disiapkan secara khusus untuk melakukan pekerjaan
itu. Profesional menunjuk pada dua hal, yaitu (1) orang yang menyandang
profesi, (2) penampilan seseorang dalam melakukan pekerjaan sesuai dengan profesinya
(seperti misalnya dokter).
Makmum (1996: 82)
menyatakan bahwa teacher performance diartikan kinerja guru atau hasil
kerja atau penampilan kerja. Secara konseptual dan umum penampilan kerja
guru itu mencakup aspekaspek; (1) kemampuan profesional, (2) kemampuan
sosial, dan (3) kemampuan personal.
Johnson (dalam Sanusi,
1991:36) menyatakan bahwa standar umum itu sering dijabarkan sebagai berikut;
(1) kemampuan profesional mencakup, (a) penguasaan materi pelajaran, (b) penguasaan
penghayatan atas landasan dan wawasan kependidikan dan keguruan, dan (c)
penguasaan proses-proses pendidikan. (2) kemampuan sosial mencakup kemampuan
untuk menyesuaikan diri kepada tuntutan kerja dan lingkungan sekitar pada waktu
membawakan tugasnya sebagai guru. (3) kemampuan personal (pribadi) yang
beraspek afektif mencakup, (a) penampilan sikap positif terhadap keseluruhan
tugas sebagai guru, (b) pemahaman, penghayatan, dan penampilan nilai-nilai yang
seyogyanya dianut oleh seorang guru, dan (c) penampilan untuk menjadikan
dirinya sebagai panutan dan keteladanan bagi peserta didik.
2. Kompetensi Kepribadian
Kompetensi kepribadian
menurut Suparno (2002:47) adalah mencakup kepribadian yang utuh, berbudi luhur,
jujur, dewasa, beriman, bermoral; kemampuan mengaktualisasikan diri seperti disiplin,
tanggung jawab, peka, objekti, luwes, berwawasan luas, dapat berkomunikasi
dengan orang lain; kemampuan mengembangkan profesi seperti berpikir kreatif,
kritis, reflektif, mau belajar sepanjang hayat, dapat ambil keputusan dll. (Depdiknas,2001).
Kemampuan kepribadian lebih menyangkut jati diri seorang guru sebagai pribadi
yang baik, tanggung jawab, terbuka, dan terus mau belajar untuk maju. Yang
pertama ditekankan adalah guru itu bermoral dan beriman. Hal ini
jelas merupakan kompetensi yang sangat penting karena salah satu tugas guru
adalah membantu anak didik yang bertaqwa dan beriman serta menjadi anak yang
baik. Bila guru sendiri tidak beriman kepada Tuhan dan tidak bermoral, maka
menjadi sulit untuk dapat membantu anak didik beriman dan bermoral. Bila guru
tidak percaya akan Allah, maka proses membantu anak didik percaya akan lebih
sulit. Disini guru perlu menjadi teladan dalam beriman dan bertaqwa. Pernah
terjadi seorang guru beragama berbuat skandal sex dengan muridnya, sehingga
para murid yang lain tidak percaya kepadanya lagi. Para murid tidak dapat
mengerti bahwa seorang guru yang mengajarkan moral, justru ia sendiri tidak
bermoral. Syukurlah guru itu akhirnya dipecat dari sekolah.
Yang kedua, guru harus
mempunyai aktualisasi diri yang tinggi. Aktualisasi diri yang sangat penting
adalah sikap bertanggungjawab. Seluruh tugas pendidikan dan bantuan
kepada anak didik memerlukan tanggungjawab yang besar. Pendidikan yang menyangkut
perkembangan anak didik tidak dapat dilakukan seenaknya, tetapi perlu
direncanakan, perlu dikembangkan dan perlu dilakukan dengan tanggungjawab.
Meskipun tugas guru lebih sebagai fasilitator, tetapi tetap bertanggung jawab
penuh terhadap perkembangan siswa. Dari pengalaman lapangan pendidikan anak
menjadi rusak karena beberapa guru tidak
bertanggungjawab. Misalnya, terjadi pelecehan seksual guru terhadap anak didik,
guru meninggalkan kelas seenaknya, guru tidak mempersiapkan pelajaran dengan
baik, guru tidak berani mengarahkan anak didik, dll.
Kemampuan untuk berkomunikasi
dengan orang lain sangat penting bagi seorang guru karena tugasnya memang
selalu berkaitan dengan orang lain seperti anak didik, guru lain, karyawan,
orang tua murid, kepala sekolah dll. Kemampuan ini sangat penting untuk
dikembangkan karena dalam pengalaman, sering terjadi guru yang sungguh pandai, tetapi karena kemampuan
komunikasi dengan siswa tidak baik, ia sulit membantu anak didik maju.
Komunikasi yang baik akan membantu proses pembelajaran dan pendidikan terutama
pada pendidikan tingkat dasar sampai menengah.
Kedisiplinan juga menjadi unsur penting
bagi seorang guru. Kedisiplinan ini memang menjadi kelemahan bangsa Indonesia,
yang perlu diberantas sejak bangku sekolah dasar. Untuk itu guru sendiri harus
hidup dalam kedisiplinan sehingga anak didik dapat meneladannya. Di lapangan
sering terlihat beberapa guru tidak disiplin mengatur waktu, seenaknya bolos;
tidak disiplin dalam mengoreksi pekerjaan siswa sehingga siswa tidak mendapat
masukan dari pekerjaan mereka. Ketidakdisiplinan guru tersebut membuat siswa
ikut-ikutan suka bolos dan tidak tepat mengumpulkan perkerjaan rumah. Yang
perlu diperhatikan di sini adalah, meski guru sangat disiplin, ia harus tetap
membangun komunikasi dan hubungan yang baik dengan siswa. Pendidikan dan
perkembangan pengetahuan di Indonesia kurang cepat salah satunya karena
disiplin yang kurang tinggi termasuk disiplin dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan dan dalam belajar.
Yang ketiga adalah sikap mau
mengembangkan pengetahuan. Guru bila tidak ingin ketinggalan zaman dan juga
dapat membantu anak didik terus terbuka terhadap kemajuan pengetahuan, mau
tidak mau harus mengembangkan sikap ingin terus maju dengan terus belajar. Di zaman
kemajuan ilmu pengetahuan sangat cepat seperti sekarang ini, guru dituntut
untuk terus belajar agar pengetahuannya tetap segar. Guru tidak boleh berhenti
belajar karena merasa sudah lulus sarjana.
3. Kompetensi Paedagogik
Selanjutnya kemampuan
paedagogik menurut Suparno (2002:52) disebut juga kemampuan dalam pembelajaran
atau pendidikan yang memuat pemahaman akan sifat, ciri anak didik dan perkembangannya,
mengerti beberapa konsep pendidikan yang berguna untuk membantu siswa,
menguasai beberapa metodologi mengajar yang sesuai dengan bahan dan
perkambangan siswa, serta menguasai sistem evaluasi yang tepat dan baik yang
pada gilirannya semakin meningkatkan kemampuan siswa.
Pertama, sangat jelas
bahwa guru perlu mengenal anak didik yang mau dibantunya. Guru diharapkan
memahami sifat-sifat, karakter, tingkat pemikiran, perkembangan fisik dan
psikis anak didik. Dengan mengerti hal-hal itu guru akan mudah mengerti
kesulitan dan kemudahan anak didik dalam belajar dan mengembangkan diri. Dengan
demikian guru akan lebih mudah membantu siswa berkembang. Untuk itu diperlukan
pendekatan yang baik, tahu ilmu psikologi anak dan perkembangan anak dan tahu
bagaimana perkembangan pengetahuan anak. Biasanya selama kuliah di FKIP guru
mendalami teori-teori psikologi tersebut. Namun yang sangat penting adalah
memahami anak secara tepat di sekolah yang nyata.
Kedua, guru perlu juga
menguasai beberapa teori tentang pendidikan terlebih pendidikan di zaman modern
ini. Oleh karena sistem pendidikan di Indonesia lebih dikembangkan ke arah
pendidikan yang demokratis, maka teori dan filsafat pendidikan yang lebih
bersifat demokratis perlu didalami dan dikuasai. Dengan mengerti bermacam-macam
teori pendidikan, diharapkan guru dapat memilih mana yang paling baik untuk
membantu perkembangan anak didik. Oleh karena guru kelaslah yang sungguh
mengerti situasi kongrit siswa mereka, diharapkan guru dapat meramu teori-teori
itu sehingga cocok dengan situasi anak didik yang diasuhnya. Untuk itu guru
diharapkan memiliki kreativititas untuk selalu menyesuaikan teori yang
digunakan dengan situasi belajar siswa secara nyata.
Ketiga, guru juga diharapkan
memahami bermacam-macam model pembelajaran. Dengan semakin mengerti banyak
model pembelajaran, maka dia akan lebih mudah mengajar pada anak sesuai dengan
situasi anak didiknya. Dan yang tidak kalah penting dalam pembelajaran adalah
guru dapat membuat evaluasi yang tepat sehingga dapat sungguh memantau dan
mengerti apakah siswa sungguh berkembang seperti yang direncanakan sebelumnya.
Apakah proses pendidikan sudah dilaksanakan dengan baik dan membantu anak
berkembang secara efisien dan efektif.
Kompetensi profesional meliputi: (1) menguasai landasan pendidikan, (2)
menguasai bahan pembelajaran, (3) menyusun program pembelajaran, (4) melaksanakan
program pembelajaran, dan (5) menilai proses serta hasil pembelajaran.
4. Kompetensi Sosial
Kompetensi sosial
meliputi: (1) memiliki empati pada orang lain, (2) memiliki toleransi pada
orang lain, (3) memiliki sikap dan kepribadian yang positif serta melekat pada
setiap kopetensi yang lain, dan (4) mampu bekerja sama dengan orang lain.
Menurut Gadner (1983)
dalam Sumardi (Kompas, 18 Maret 2006) kompetensi sosial itu sebagai social
intellegence atau kecerdasan sosial. Kecerdasan sosial merupakan salah satu
dari sembilan kecerdasan (logika, bahasa, musik, raga, ruang, pribadi, alam,
dan kuliner) yang berhasil diidentifikasi oleh Gardner.
Semua kecerdasan itu dimiliki oleh
seseorang. Hanya saja, mungkin beberapa di antaranya menonjol, sedangkan yang lain
biasa atau bahkan kurang. Uniknya lagi, beberapa kecerdasan itu bekerja secara
padu dan simultan ketika seseorang berpikir dan atau mengerjakan sesuatu
(Amstrong, 1994).
Sehubungan dengan apa yang
dikatakan oleh Amstrong itu ialah bahwa walau kita membahas dan berusaha
mengembangkan kecerdasan sosial, kita tidak boleh melepaskannya dengan
kecerdasan-kecerdasan yang lain. Hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa dewasa
ini banyak muncul berbagai masalah sosial kemasyarakatan yang hanya dapat
dipahami dan dipecahkan melalui pendekatan holistik, pendekatan komperehensif,
atau pendekatan multidisiplin.
Kecerdasan lain yang
terkait erat dengan kecerdasan sosial adalah kecerdasan pribadi (personal
intellegence), lebih khusus lagi kecerdasan emosi atau emotial
intellegence (Goleman, 1995). Kecerdasan sosial juga berkaitan erat dengan
kecerdasan keuangan (Kiyosaki, 1998). Banyak orang yang terkerdilkan kecerdasan
sosialnya karena impitan kesulitan ekonomi.
Dewasa ini mulai disadari
betapa pentingnya peran kecerdasan sosial dan kecerdasan emosi bagi seseorang
dalam usahanya meniti karier di masyarakat, lembaga, atau perusahaan. Banyak
orang sukses yang kalau kita cermati ternyata mereka memiliki kemampuan bekerja
sama, berempati, dan pengendalian diri yang menonjol.
Dari uraian dan
contoh-contoh di atas dapat kita singkatkan bahwa kompetensi sosial adalah
kemampuan seseorang berkomunikasi, bergaul, bekerja sama, dan memberi kepada
orang lain. Inilah kompetensi sosial yang harus dimiliki oleh seorang pendidik yang
diamanatkan oleh UU Guru dan Dosen, yang pada gilirannya harus dapat ditularkan
kepada anak-anak didiknya.
Untuk mengembangkan
kompetensi sosial seseorang pendidik, kita perlu tahu target atau
dimensi-dimensi kompetensi ini. Beberapa dimensi ini, misalnya, dapat kita
saring dari konsep life skill. Dari 35 life skills atau
kecerdasan hidup itu, ada 15 yang dapat dimasukkan kedalam dimensi kompetensi
sosial, yaitu: (1) kerja tim, (2) melihat peluang, (3) peran dalam kegiatan kelompok,
(4) tanggung jawab sebagai warga, (5) kepemimpinan, (6) relawan sosial, (7)
kedewasaan dalam bekreasi, (8) berbagi, (9) berempati, (10) kepedulian kepada
sesama, (11) toleransi, (12) solusi konflik, (13) menerima perbedaan, (14)
kerja sama, dan (15) komunikasi.
Kelima belas kecerdasan
hidup ini dapat dijadikan topik silabus dalam pembelajaran dan pengembangan
kompetensi sosial bagi para pendidik dan calon pendidik. Topik-topik ini dapat
dikembangkan menjadi materi ajar yang dikaitkan dengan kasus-kasus yang aktual dan
relevan atau kontekstual dengan kehidupan masyarakat kita.
Dari uraian tentang
profesi dan kompetensi guru, menjadi jelas bahwa pekerjaan/jabatan guru adalah
sebagai profesi yang layak mendapatkan penghargaan, baik finansial maupun non
finansial.
C. Memimpikan Guru yang Profesional
Untuk memperbaiki kualitas
pendidikan, pemerintah telah memberikan perhatian khusus dengan merumuskan
sebuah Undang- Undang yang mengatur profesi guru dan dosen. Dalam pembahasan
rancangan Undang-Undang ini (hingga disahkan pada 6 Desember 2005) tersirat
keinginan Pemerintah untuk memperbaiki wajah suram nasib guru dari sisi
kesejahteraan dan profesionalisme. Jumlah guru di Indonesia saat ini 2,2 juta
orang, dan hanya sebagian kecil guru dari sekolah negeri dan sekolah elit yang
hidup berkecukupan.
Mengandalkan penghasilan
dan profesi guru, jauh dari cukup sehingga tidak sedikit guru yang mencari
tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sertifikasi kompetensi guru sebagai
tindak lanjut dari Undang- Undang ini menyisakan persoalan sebagaimana
disampaikan Mendiknas pada media masa pada saat pengesahan Undang-Undang ini,
antara lain kesepahaman akan ukuran uji kompetensi guru. Sejak awal gagasan
pembuatan RUU Guru dan Dosen dilatarbelakangi oleh komitmen bersama untuk
mengangkat martabat guru dalam memajukan pendidikan nasional, dan menjadikan
profesi ini menjadi pilihan utama bagi generasi guru berikutnya (Situmorang dan
Budyanto 2005:1).
Guru, peserta didik, dan
kurikulum merupakan tiga komponen utama pendidikan. Ketiga komponen ini saling
terkait dan saling mempengaruhi, serta tidak dapat dipisahkan antara satu
komponen dengan komponen yang lainnya. Dari ketiga komponen tersebut, faktor
gurulah yang dinilai sebagai satu faktor yang paling penting dan strategis,
karena di tangan para gurulah proses belajar dan mengajar dilaksanakan, baik di
dalam dan di luar sekolah dengan menggunakan bahan ajar, baik yang terdapat di
dalam kurikulum nasional maupun kurikulum lokal.
Untuk melaksanakan proses
belajar dan mengajar secara efektif, guru harus memiliki kemampuan
profesionalisme yang dapat dihandalkan. Kemampuan profesionalisme yang handal
tersebut tidak dibawa sejak lahir oleh calon guru, tetapi harus dibangun,
dibentuk, dipupuk dan dikembangkan melalui satu proses, strategi, kebijakan dan
program yang tepat. Proses, strategi, kebijakan, dan program pembinaan guru di
masa lalu perlu dirumuskan kembali (Suparlan 2006:1).
James M. Cooper, dalam tulisannya bertajuk “The teachers
as a Decision Maker”, mengawali dengan satu pertanyaan menggelitik “what
is teacher?”. Cooper menjawab pertanyaan itu dengan menjelaskan
tetang guru dari aspek pelaksanaan tugasnya sebagai tenaga profesional.
Demikian pula, Dedi Supriadi dalam bukunya yang bertajuk “Mengangkat
Citra dan Martabat Guru” telah menjelaskan (secara amat jelas)
tentang makna profesi, profesional, profesionalisme, dan profesionalitas
sebagai berikut ini Profesi menunjuk pada suatu pekerjaan atau
jabatan yang menuntut keahlian, tanggung jawab, dan kesetiaan terhadap
pekerjaan itu. Misalnya, guru sebagai profesi yang amat mulia. Profesional
menunjuk dua hal, yakni orangnya dan kinerja dalam melaksanakan
tugas dan pekerjaannya. Sebagai contoh, seorang profesional muda, atau dia
bekerja secara profesional. Profesionalisme menunjuk kepada derajat
atau tingkat kinerja seseorang sebagai seorang profesional dalam
melaksanakan profesi yang mulia itu.
Dalam UU Nomor 20 Tahun
2003 dinyatakan bahwa “Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas
merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran,
melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan tulisan dan pengabdian
kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi”. Sebagai
tenaga profesional, guru memang dikenal sebagai salah satu jenis dari
sekian banyak pekerjaan (occupation) yang memerlukan bidang
keahlian khusus, seperti dokter, insinyur, dan bidang pekerjaan lain
yang memerlukan bidang keahlian yang lebih spesifik. Dalam dunia yang
sedemikian maju, semua bidang pekerjaan memerlukan adanya spesialisasi,
yang ditandai dengan adanya standar kompetensi tertentu, termasuk guru.
Guru merupakan tenaga
profesional dalam bidang pendidikan dan pengajaran. Westby-Gybson
(1965), Soerjadi (2001:1-2) menyebutkan beberapa persyaratan suatu
pekerjaan disebut sebagai profesi. Pertama, adanya pengakuan oleh
masyarakat dan pemerintah mengenai bidang layanan tertentu yang hanya
dapat dilakukan karena keahlian tertentu dengan kualifikasi tertentu
yang berbeda dengan profesi lain. Kedua, bidang ilmu yang menjadi
landasan teknik dan prosedur kerja yang unik. Ketiga, memerlukan
persiapan yang sengaja dan sistematis sebelum orang mengerjakan
pekerjaan profesional tersebut. Keempat, memiliki mekanisme yang
diperlukan untuk melakukan seleksi secara efektif, sehingga yang
dianggap kompetitiflah yang diperbolehkan dalam melaksanakan bidang pekerjaan
tersebut. Kelima, memiliki organisasi profesi yang, di samping
melindungi kepentingan anggotanya, juga berfungsi untuk meyakinkan agar
para anggotannya menyelenggarakan layanan keahlian yang terbaik yang
dapat diberikan (Suparlan, 2004:2).
Profesionalisme guru
didukung oleh tiga hal, yakni (1) keahlian, (2) komitmen, dan (3) keterampilan
(Supriadi 1998:96). Untuk dapat melaksanakan tugas profesionalnya dengan baik,
pemerintah sejak lama telah berupaya untuk merumuskan perangkat standar
komptensi guru. Dapat dianalogikan dengan pentingnya hakim dan Undang- Undang,
yang menyatakan bahwa, ‘berilah aku hakim dan jaksa yang baik, yang dengan
undang-undang yang kurang baik sekalipun akan dapat dihasilkan keputusan yang
baik’, maka kaidah itu dapat dianalogikan dengan pentingnya guru, yakni dengan
ungkapan bijak ‘berilah aku guru yang baik, dan dengan kurikulum yang kurang
baik sekali pun aku akan dapat menghasilkan peserta didik yang baik. Artinya,
bahwa aspek kualitas hakim dan jaksa masih jauh lebih penting dibandingkan
dengan aspek undang-undangnya. Hal yang sama, aspek guru masih lebih penting
dibandingkan aspek kurikulum. Sama dengan
manusia dengan senjatanya, yang terpenting adalah manusianya, ‘man behind
the gun’.
Untuk menggambarkan guru profesional, Supriadi mengutip laporan
dari Jurnal Educational Leadership edisi Maret 1993, bahwa guru
profesional dituntut memiliki lima hal. Pertama, guru mempunyai komitmen
pada siswa dan proses belajarnya. Ini berarti bahwa komitmen tertinggi guru
adalah kepada kepentingan siswa. Kedua, guru menguasai secara mendalam
bahan/materi pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarkannya kepada para
siswa. Bagi guru hal ini merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Ketiga,
guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai teknik
evaluasi, mulai cara pengamatan dalam perilaku siswa sampai tes hasil belajar. Keempat,
guru mampu berpikir sistematis tentang apa yang dilakukannya, dan belajar dari
pengalamannya. Kelima, guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat
belajar dalam lingkungan profesinya, misalnya di PGRI dan organisasi profesi
lainnya. Apabila kelima hal tersebut dapat dimiliki oleh guru, maka guru tersebut
dapat disebut sebagai tenaga dan pendidik yang benar-benar profesional dalam
menjalankan tugasnya (Supriadi 2003:14).
DAFTAR
PUSTAKA
Chamidi, Safrudin Ismi. 2004. “Peningkatan Mutu Pendidikan melalui
Manajemen Berbasis Sekolah”, dalam Isu-isu Pendidikan di Indonesia:
Lima Isu Pendidikan Triwulan Kedua. Pusat Data dan Informasi Pendidikan,
Balitbang, Depdiknas.
Direktorat Ketenagaan. 2006. Rambu-rambu
Penyelenggaraan Pendidikan Profesional Guru Sekolah Dasar. Jakarta:
Direktorat Ketenagaan Dirjen Dikti
Dirjen Dikti Dir PPTK Depdiknas. 2002. Standar Kompetensi Guru Kelas SD-MI Program D-II
PGSD. Jakarta:
Depdiknas.
Pendidikan & Latihan Profesi Guru (PLPG), Bimbingan Konseling. Bahan Ajar Sertifikasi Guru dalam Jabatan
Tahun 2008. Universitas Negeri Semarang
(UNES)
Suparno,
Paul. 2004. Guru Demokratis di Era Reformasi Pendidikan. Jakarta:
Grasindo.
Suryadi,
Ace dan Dasim Budimansyah. 2004. Pendidikan Nasional Menuju Masyarakat Masa
Depan. Jakarta: Genesindo.
Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen.
Undang-undang No. 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Zamroni. 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta:
Bigraf Publishing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar